Sabtu, 30 April 2011

“KABAR SAUNG 86” (edisi: Perdana)


KABAR SAUNG 86”

“Berisikan Kabar Berita !! atau tulisan-tulisan dari warga untuk warga”*

*Tulisan yang dimuat, dapat dipertanggung jawabkan.




“Penyakit yang (mungkin) Melanda Warga…”
Oleh, Oky Chöky Chöky




Lha wong undangan juga sudah disebar......, tempat dan waktunya juga jelas…

Kok, banyak yang tidak datang ya....?? Ya, tampaknya warga banyak yang terkena penyakit sehingga tidak datang saat pertemuan digelar. Penyakit itu bernama Malu Rasa. Bagaimana tidak? Setiap gelaran rapat RT atau kerjabakti, dari sekitar 54 KK, yang hadir dan mengikuti rapat kurang lebih hanya 10–18 orang saja. Beberapa kali kerjabakti, yang hadir lebih sedikit dari jumlah yang datang dalam rapat. Ironis memang !

Padahal RT (Rukun Tetangga) adalah sebuah komunitas gagasan cerdas para pendahulu kita. Sebuah sarana budaya adi luhung sebagai perekat masyarakat. Tak perlu registrasi, tak perlu seleksi, orang dengan tangan terbuka akan menerima kahadiran kita. Dari daerah manapun, suku apapun, latar belakang keluarga bagaimanapun, masyarakat setempat selalu welcome. Selayaknya kita patut berterima kasih kapada nenek moyang kita yang telah menciptakan forum rembug warga ini. Sudah seyogyanya kita merawat budaya yang sangat bermanfaat sebagai ajang tertinggi dalam menyelesaikan persoalan warga.

Salah satu cara merawat dan nguri-nguri warisan ini adalah dengan berperan serta atau berpartisipasi aktif dalam pertemuan-pertemuan yang digelar oleh Ketua RT. Sekedar datang mendengarkan diskusi itu baik, memberi masukan -bahasa Gunungnya : melu usul- itu juga lebih baik. Apalagi jika kita terlibat langsung atau -bahasa Djowo ne: Action,- itu lebih bijak lagi. Fungsi RT selayaknya harus dijaga pada porsinya, yaitu sebagai forum rembug warga yang ada di perumahan kita. Komunikasi RT menjadi sangat strategis untuk sosialisasi program kelurahan, kecamatan sampai pada level pemerintahan tertinggi: kebiajakan negara. Pertemuan RT juga sarana paling efektif untuk memobilisasi masa. Sebagai salah satu bagian dari keluarga besar RT, pastilah kita tahu kapan dan dimana pertemuan RT itu akan digelar. La wong undangan juga di sebar, tempat dan waktunya yo podho ngerti kabeh. Kok yo okeh seng ora teko rapat. Kalau dikatakan sibuk, pastilah semua warga juga sibuk, karena semua warga tentunya masih butuh duwit. Oleh karena itu, mari sudah saatnya kita memiliki budaya malu. “Malu jikalau tidak bisa hadir dalam pertemuan atau rapat”, “tidak bisa ikut kerjabakti, atau tidak bisa mengikuti kegiatan lain yang ternyata didukung dan diikuti oleh seluruh warga”.

Jika ada kepentingan yang urgent ada baiknya memberitahu tetangga atau rekan yang akan datang pada pertemuan tersebut. Tidak bijak jika saat ada pertemuan, kita lebih mementingkan nonton TV, lebih nyaman bersama anak istri , atau lebih memilih nglungani wae, daripada datang ke pertemuan. Jika tidak bisa hadir sebab suatu hal yang urgent, itu bisa dimaklumi.


Perubahan menjadi urusan semua warga bukan segelintir orang.

Sebenarnya silaturrahmi antar warga lewat rapat Triwulan RT, ibarat sambal. Ada yang berfungsi sebagai cabe yang sangat pedas, garam yang hanya asin, bawang yang menyedapkan, bahkan terasi yang sama sekali tidak enak dimakan mentah-mentah. Akan tetapi siapa mengira, dari bahan-bahan yang tidak mempunyai rasa tadi setelah diulek, sedapnya luar biasa. Dan bahkan ada orang yang tidak makan jika tidak ada sambalnya.

Silaturrahmi yang dikemas rapat Triwulan warga itu ibarat menyambal heterogenitas warga agar selalu sedap; rukun dan selalu sillaturrahmi. Fungsi rapat atau pertemuan warga sebagai “proses membuat sambal” sama halnya dengan menyediakan ruang publik bagi warga untuk saling mengenal, saling sillaturrahmi, saling membantu, saling menghormati dan saling menghargai serta saling memiliki dan memberikan kontribusi bagi tempat dimana kita tinggal. Sayangnya ruang-ruang publik itu tidak dimanfaatka oleh semua warga. Sehingga memberi dampak longgarnya ikatan sikap-sikap tersebut. Karenanya perlu untuk menyegarkan lahirnya kembali sikap-sikap elegan yang telah diwariskan oleh para leluhur; gotong royong dan guyub rukun.

Belajar dari pengalaman rapat RT dilingkungan tempat tinggal kita, banyak hal yang kita pelajari tentang sifat manusia selaku makhluk sosial.

Pertama, soal hubungan sosial. Warga, karena kesibukan aktivitasnya, lebih banyak mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan kelompok. Hubungan sosial yang dibangun melalui unit pemerintahan terkecil seperti RT, seringkali dianggap tidak “penting”. Padahal sebagai tetangga, jarak antara rumah keluarga yang satu dengan rumah milik keluarga lainnya, hanya dibatasi jarak dinding tembok. Ini sesuai kondisi fisik perumahan yang kebanyakan dibangun.

Kedua, soal gotong royong. Untuk hal-hal yang menguntungkan dirinya sendiripun, masih banyak diantara kita yang menganggap, tradisi nenek moyang kita ini hanya bikin “capek” saja. Padahal, makna gotong royong itu adalah sarana saling berinteraksi dalam sebuah kelompok sosial. Warga yang bijak adalah warga yang berbuat sesuatu manfaat untuk sesama. Bukan sebagai warga yang hanya menerima manfaat program saja.

Perubahan Perumahan Sari Indah Permai ini menjadi baik atau buruk semua di tangan kita. Bukan tangan-tangan sebagian warga saja. Saya yakin ini semua butuh proses, kalau mengutip kata bapak RT kita, ”Kita ikuti irama warga” kata ini sungguh dalam.

Semakin berirama kalau, semakin banyak yang berfikir dan berbuat sesuatu yang terbaik untuk perumahan kita!

Tapi, kalau kita merasa yang datang rapat Triwulan 10–18 orang itu sudah bagus, ya.. sampai kapanpun tidak akan mengalami perubahan!!

Karena otak kita sudah di-setting tingkat terbaiknya adalah diangka itu. Mudah-mudahan penyakit itu segera terobati, dan Perumahan Sari Indah Permai menjadi hunian yang aman, nyaman, religius, dan bersahabat.

Salam Revolusi !